(Minor Spoiler Alert!)
Beberapa hari yang lalu, setelah sekian lama ngga baca novel karena terlalu terpaku mencari filem-filem referensi, mata gue menemukan sebuah buku lumayan tebal bersampul menarik. Sejak awal masuk toko buku, entah kenapa gue tertarik dengan dua buku bertajuk Bumi dan Bulan yang ditulis oleh pengarang yang sama, Tere Liye. Kebetulan bokap punya salah satu buku karya pengarang ini, dan katanya bukunya bagus. Dan siapa yang ngga tahu Hafalan Shalat Delisa, minimal tahu lah filmnya (yang dulu sukses bikin gue nangis-nangis sendirian bersama televisi dan tumpukan tisu), yang juga dikarang oleh orang yang sama. Setelah baca sinopsisnya, gue semakin tertarik. Buku fantasi, gais! Gue suka banget genre itu. Tapi karena takut menyesal, gue belilah buku pertamanya dulu, Bumi. (Terus gue menyesal cuma beli yang pertama ketika gue sampai pada lembaran terakhir novel tepat waktu tengah malam, karena greget gemes penasaran lanjutannya.)
Dan, wow, gue benar-benar-benar suka.
Meskipun awal ceritanya terlalu lama, mungkin karena dari sudut pandang orang pertama dan pendalaman latar belakang karakternya cukup lama, mulai dari Raib, si tokoh utamanya, dan keluarganya, kemudian sahabat sebangkunya Raib, Seli, dan sahabat-musuhnya Raib, Ali. Awalnya cukup ngejlimet, ditambah tokoh-tokoh lain yang membuat semuanya semakin kompleks. Mungkin karena ini build-up untuk novel berseri, jadi memunculkan banyak pertanyaan yang seiring waktu dan buku akan terjawab? Gue pribadi sih suka, karena bikin penasaran, bikin ngga bisa lepas. Sampai gue makan sambil baca buku (yang jarang terjadi, karena makanan adalah cinta pertama dan terakhir gue), dan sampai kesal sendiri sama naluri alam gue untuk buang air kecil karena ingin menamatkan buku itu dalam sekali duduk.
Tapi ya agak kaget sih pas pertama baca bab-bab awal kayak novel TeenLit, haha. Ada kejadian agak buruk menimpa keluarga, terus ngga sengaja ada masalah sama kakak senior, masalah jerawat, masalah benci-bencian sama anak cowok di sekolah, agak redundant gitu. Terus ada detail-detail kecil yang kelewat, kayak mamang bakso ketukar dengan mamang batagor, lamanya pernikahan orang tua Raib beda, hal-hal kecil yang sebenarnya ga begitu penting. (Tapi jadi sadar karena belajar continuity di film hft). Anyway, bagian serunya baru mulai kira-kira hampir seperempat dari novelnya. Tapi ya, semakin ke belakang, terbayar kok dengan keseruan perjalanannya.
Gue suka gimana Tere Liye mendeskripsikan ceritanya, lumayan mengalir, jadi meskipun berbelit di awal, tetap enak buat dibaca. Ikut tegang pas kucingnya Raib diancam, ikut dag-dig-dug pas Tamus, si antagonis, berantem sama Miss Selena, guru matematikanya Raib. Rasanya kayak ikut ada di tempat itu dan melihat mereka berantem. Sampe-sampe gue sempat ikut simpati sama Tamus ketika dia cerita tentang masa lalunya. Tapi bagian paling asyiknya pas mereka di dunia pararel sih, deskripsi tempatnya enak banget bikin beneran kebayang dunianya kayak gimana. Kompleks, tapi dengan deskripsinya itu gue bisa menempatkan karakter-karakter buku ini di dunia yang terasa nyata meskipun cuma karang-karangan.
Masalah karakter, karakterisasinya belum terlalu kelihatan, tapi deskripsinya bisa bikin lumayan jatuh cinta sih. Meskipun bikin lambat, gue bisa mengapresiasi karakter Mama-Papanya Raib yang dinamika interaksinya menggemaskan, yang kemudian mirip pasangan yang ada di dunia pararel. Gue bisa suka tiga remaja kelas 10-9, Raib-Seli-Ali, mengikuti roller-coaster emosi dalam perjalanan mereka. Gue bisa suka manusia-manusia dunia pararel yang ketiganya temui dalam perjalanan mereka. Karakter-karakternya sungguh lovable.
Gue pribadi suka karakter Ali, si jenius dengan kepekaan sosial minim, haha. Mungkin karena gue paling bisa relate sama karakter jenius tapi dungu ini. Sama-sama berantakan, kepo berlebihan, dan jarang peduli sekitar, serta kurang ajar, aha. Tapi yang agak ganggu, mungkin karena ini dari sudut pandang Raib, kalimat 'jenius' dan 'rambut berantakan' dan 'biang kerok' terus-terusan dipakai untuk mendeskripsikan Ali. Tapi, ya, manusia banget ngga sih, mengidentifikasi seseorang dengan suatu sifat yang menonjol? Jadi, oke lah. Oiya, gue juga suka perumpamaan-perumpamaan Ali untuk menjelaskan teori-teorinya, seperi Teori Lapangan Olahraga dan Teori Ikan Buntal.
Alur cerita lumayan standar, polanya The Hero's Journey, seperti yang sering kita temui dalam bacaan atau tontonan petualangan (contohnya Star Wars, Harry Potter, Lord of the Rings, dkk). Sempat terbersit kemiripan dengan heksalogi(?) (pokoknya 6 buku, apalah namanya) The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel-nya Michael Scott. Yeah, impresi pertama gue sih serial Bumi dan kawan-kawan kayak heksalogi(?) itu versi Indonesia, dalam arti yang positif. Sama-sama menciptakan dunia fantasi yang keren, sama-sama captivating, sama-sama bikin jatuh cinta. Bedanya, The Alchemyst, buku pertama heksalogi(?) Nicholas Flamel ngga pake ba-bi-bu panjang langsung jder! bertualang. (Catatan kecil: Serial Nicholas Flamel ini salah satu novel fantasi favorit gue.)
Oiya, gue sempat baca beberapa review orang-orang yang bilang kejadian-kejadian di novel ini serba kebetulan dan memberikan kemudahan, tapi menurut gue pribadi sih itu terjadi di semua cerita petualangan? Ya, cuma pendapat gue aja, haha.
End note: Ngomong-ngomong, gue pikir Tere Liye itu perempuan. Ternyata laki-laki. Untung insting saya bilang untuk pakai m8/mate pas dengan semangat bikin status di media sosial, hampir saya bilang mbak. Ah sudahlah. Ngomong-ngomong lagi, setelah galau seharian kepikiran dan penasaran, gue akhirnya beli Bulan. Sungguhhh ngga kecewa, saya kelewat bahagia. Buku kedua ini lebih feels lagi dari yang pertama. Sedih harus tunggu 2016 untuk lanjutannya, Matahari.
Masalah karakter, karakterisasinya belum terlalu kelihatan, tapi deskripsinya bisa bikin lumayan jatuh cinta sih. Meskipun bikin lambat, gue bisa mengapresiasi karakter Mama-Papanya Raib yang dinamika interaksinya menggemaskan, yang kemudian mirip pasangan yang ada di dunia pararel. Gue bisa suka tiga remaja kelas 10-9, Raib-Seli-Ali, mengikuti roller-coaster emosi dalam perjalanan mereka. Gue bisa suka manusia-manusia dunia pararel yang ketiganya temui dalam perjalanan mereka. Karakter-karakternya sungguh lovable.
Gue pribadi suka karakter Ali, si jenius dengan kepekaan sosial minim, haha. Mungkin karena gue paling bisa relate sama karakter jenius tapi dungu ini. Sama-sama berantakan, kepo berlebihan, dan jarang peduli sekitar, serta kurang ajar, aha. Tapi yang agak ganggu, mungkin karena ini dari sudut pandang Raib, kalimat 'jenius' dan 'rambut berantakan' dan 'biang kerok' terus-terusan dipakai untuk mendeskripsikan Ali. Tapi, ya, manusia banget ngga sih, mengidentifikasi seseorang dengan suatu sifat yang menonjol? Jadi, oke lah. Oiya, gue juga suka perumpamaan-perumpamaan Ali untuk menjelaskan teori-teorinya, seperi Teori Lapangan Olahraga dan Teori Ikan Buntal.
Alur cerita lumayan standar, polanya The Hero's Journey, seperti yang sering kita temui dalam bacaan atau tontonan petualangan (contohnya Star Wars, Harry Potter, Lord of the Rings, dkk). Sempat terbersit kemiripan dengan heksalogi(?) (pokoknya 6 buku, apalah namanya) The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel-nya Michael Scott. Yeah, impresi pertama gue sih serial Bumi dan kawan-kawan kayak heksalogi(?) itu versi Indonesia, dalam arti yang positif. Sama-sama menciptakan dunia fantasi yang keren, sama-sama captivating, sama-sama bikin jatuh cinta. Bedanya, The Alchemyst, buku pertama heksalogi(?) Nicholas Flamel ngga pake ba-bi-bu panjang langsung jder! bertualang. (Catatan kecil: Serial Nicholas Flamel ini salah satu novel fantasi favorit gue.)
Oiya, gue sempat baca beberapa review orang-orang yang bilang kejadian-kejadian di novel ini serba kebetulan dan memberikan kemudahan, tapi menurut gue pribadi sih itu terjadi di semua cerita petualangan? Ya, cuma pendapat gue aja, haha.
Verdict: ★★★★
Overall, gue sangat merekomendasikan buku ini. Jarang-jarang, kan, ada novel fantasi petualangan dari pengarang Indonesia? Seru kok, gue rasa cocok untuk generasi penyuka Harry Potter, atau mungkin, penyuka heksalogi(?) Nicholas Flamel. Buku keduanya, Bulan, lebih seru dari Bumi. Mungkin karena petualangan yang diceritakan di buku Bumi lebih domestik? Gue sangat menunggu novel ini naik ke layar lebar, kayak kebanyakan novel-novel Indonesia sekarang ini. Tapi gue rasa sulit dengan kemampuan perfilman Indonesia sekarang, hahaha.
(◕‿◕✿)
End note: Ngomong-ngomong, gue pikir Tere Liye itu perempuan. Ternyata laki-laki. Untung insting saya bilang untuk pakai m8/mate pas dengan semangat bikin status di media sosial, hampir saya bilang mbak. Ah sudahlah. Ngomong-ngomong lagi, setelah galau seharian kepikiran dan penasaran, gue akhirnya beli Bulan. Sungguhhh ngga kecewa, saya kelewat bahagia. Buku kedua ini lebih feels lagi dari yang pertama. Sedih harus tunggu 2016 untuk lanjutannya, Matahari.
No comments:
Post a Comment