`Sampai kapan mau begini?`
Dia memandangmu tajam, menghakimi. Matanya—cokelat kacang, identik denganmu—selalu membuatmu merasa naif, merasa transparan, merasa bodoh. Membaca ekspresimu adalah perkara yang mudah baginya. Kerling mata, lengkung bibir, nada suara, menerjemahkannya seperti permainan anak-anak untuknya.
Dia bilang, ekspresi tidak bisa bohong.
Kamu menghela napas, pasrah.
Tatapan matanya melembut, dan dia bertanya pelan:
Tatapan matanya melembut, dan dia bertanya pelan:
`Sampai kapan mau sakit sendirian?`
Mungkin kamu dan dia sama-sama lelah dengan waktu-waktu yang hilang karena kamu selalu pura-pura; waktu-waktu yang terbuang dalam hening panjang diantara kamu, dan separuh hatimu. Separuh hatimu yang dia tahu juga sama-sama pura-pura.
Sakit, tapi pura-pura tegar.
Suka, tapi pura-pura benci.
Hanya dia yang tahu, karena kamu dan separuh hatimu tidak mau tahu.
Jadi lah dia hanya bisa melihat kalian berdua saling menyakiti.
.
.
`Jangan sampai dia jadi anugerah terindah yang terlewatkan, bodoh.`
No comments:
Post a Comment