Seandainya gue bisa berkata hal yang sama tentang masa depan gue. Betapa menyenangkannya, bukan begitu? Mengetahui bahwa masa depanmu ada di depan sana, aman terjaga sampai waktunya lu untuk mencapainya. Sementara masa depan gue mengalami turbulensi karena taifun halilintar tepat di tengah-tengah Segitiga Bermuda, siap jatuh dan berputar dalam pusaran air tiada akhir hingga tenggelam ke dasar samudera.
Atau mungkin, kata-kata yang lebih tepat digunakan meskipun terdengar jorok: seperti tinja yang sedang di flush dari lubang toilet menuju endapan septic tank.
Wajar nggak sih,
mempertanyakan pilihan hidup lu,
ketika sudah hampir di ujung perjalanan?
Bukan berarti gue nggak suka. Tapi kadang-kadang terbesit sedikit penyesalan. Sedikit. Ketika sedang lelah-lelahnya, dan seluruh dunia terasa tidak kooperatif. Ketika lu harus tersenyum dan tertawa sumbang menanggapi lelucon orang-orang yang lu nggak suka. Ketika lu bertanya-tanya pada diri sendiri, kenapa, kenapa, kenapa.
Kenapa gue tidak cukup pintar untuk memilih pilihan yang benar?
Kenapa gue tidak cukup pintar untuk memilih pilihan yang benar?
Tapi di lain sisi, gue juga bertanya-tanya kenapa gue menganggap pilihan yang sekarang ini salah. Mungkin karena terlalu banyak tembok yang membatasi keinginan gue. Konflik-konflik kepentingan diantara beberapa kepala, drama-drama internal yang kalau dilihat kembali terasa nggak penting sama sekali.
Ah, norak sekali. Picisan.
Payah amat, sih. Kayaknya hidup jadi kucing seminggu enak juga.
Ah, norak sekali. Picisan.
Payah amat, sih. Kayaknya hidup jadi kucing seminggu enak juga.
• • •
Foto pertama difoto oleh Evelyn.
Eksperimen warna menggunakan film emulator oleh Jonas Wagner.
Terima kasih, selamat malam!
No comments:
Post a Comment