Friday 4 December 2015

curhatnya • dream log



Sometimes I woke up with fragments of time buried deepmoments better left untouched, and words left unsaid. Sometimes I woke up with memories I'm not sure ever happened. Sometimes I woke up with a small smile that I never know what the cause is. Sometimes I woke up with someone's voice echoing within my ear shell unto the bleak, static morning.

Most of time, I never remember what exactly my dream was about.

One alarming morning when I do not forget, I woke up abruptly and left awake staring at my ceiling as a dying man's voice reverberated around me, confessing love with his last breath to God knows who. I am aware that dreams about sick friend come sporadically, and these are dreams I often remember; I loathe them, because it almost feels like premonition, and they left me with cold anxiety of someone passing away, like what happened once upon a time.

Some of the forgotten dreams come back so suddenly like a car crash; déjà vu, as we call it. A glimpse of the future a lot of people often see. It is a love-hate relationship, a déjà vu. When it's pleasant, you're going to be okay, after the initial disorientation I never mastered not to feel. When it's unpleasant, it sends me into a whirlwind of inner turmoils, burning regrets, and blaming games I never won.

I often wonder what they mean, but I refuse to mull over it in fear that it will hunt me, like the way sky dies prematurely always hit me with a wave of agony.

Sunday 8 November 2015

curhatnya • terkadang,



terlintas di kepalaku kalau aku mencintaimu sampai di luar ambang batas;
kalau aku mencintaimu sampai-sampai aku tidak lagi w a r a s.

Wednesday 12 August 2015

tulisannya • 001

`Sampai kapan mau begini?`

Dia memandangmu tajam, menghakimi. Matanyacokelat kacang, identik denganmuselalu membuatmu merasa naif, merasa transparan, merasa bodoh. Membaca ekspresimu adalah perkara yang mudah baginya. Kerling mata, lengkung bibir, nada suara, menerjemahkannya seperti permainan anak-anak untuknya.

Dia bilang, ekspresi tidak bisa bohong.

Kamu menghela napas, pasrah.

Tatapan matanya melembut, dan dia bertanya pelan:

`Sampai kapan mau sakit sendirian?`

Mungkin kamu dan dia sama-sama lelah dengan waktu-waktu yang hilang karena kamu selalu pura-pura; waktu-waktu yang terbuang dalam hening panjang diantara kamu, dan separuh hatimu. Separuh hatimu yang dia tahu juga sama-sama pura-pura.

Sakit, tapi pura-pura tegar.

Suka, tapi pura-pura benci.

Hanya dia yang tahu, karena kamu dan separuh hatimu tidak mau tahu.

Jadi lah dia hanya bisa melihat kalian berdua saling menyakiti.

.

.

`Jangan sampai dia jadi anugerah terindah yang terlewatkan, bodoh.`

Sunday 9 August 2015

production diary • is this the real life?

Holaaa, I'm back to civilization! But I broke my cellphone so I can only be contacted in that medieval way called Short Message Service. Or you can always call me number but I proli won't answer because I lost all my Contacts and I never answer anonymous number. BTW I'm so glad that I'm still fluent in old school way of texting; old Nokia is so fun to use! (Also, it's so tinyyy!)


Just got back from a mini vacay-job, which was a pretty fun (but hella tiring) time-out from the real world. A tiny island smack dab in the middle of the sea, with a beach so wonky you might casually walk ankle-deep first and plunged all the way into the water next. The sea is very ferocious at night, because we went there on the full moon. The time feels very slow there, it's like we have 48H a day. Except for the ruined fort and a family of Varanus, there's nothing much to see in the island.

On the weekend, a wave of tourists came from the land and I can only look at them strangely; I feel like a local that can't comprehend why tourists want to see this place I live in. (The same feeling I got every time anyone ever went on a vacay to Puncak, Bogor.) Like seriously there's nothing to see. (Although I think some people noticed us there producing a short film and took a picture or three.)

A confession: I spent more time playing on the beach, looking for seashells and crabs, rather than working. (It's not my fault really, I mean, after the set is ready, I'm basically useless there, more or less.) Also, trashing mini-yachts is a fun activity. Restoring it back to its white pristine condition, not so much.

End note: I have lots more appreciation for groundwater now. Bathing with saltwater is bullshit, man.



Title from Bohemian Rhapsody by Queen.

Saturday 8 August 2015

fotonya • i wanna feel reckless

You gotta admit that leather jacket is the best partner for that badass look many people aims for. Pair that up with comfy v-neck tee, a worn pair of jeans (yasss, that one so worn it feels velvety against your skin!) and suede ankle boots, and you're good to go for a summer-y garden party. Chances are, the weather will be so humid you're practically sweating bullets. But hey, at least you look good!

Pieter Wijaya (A Fashionated Animal) × FTF/Yamadhika



Admittedly, I stole all the details about the fashion article from Pieter's site, because I know jack shit about them. I just add my personal preferences about them, because yes and forever yes, a worn pair of jeans is an underrated nirvana. Your favorite jeans will never go out of style, aha. (Except, like, if it's torn at the crotch or unfixable beyond belief. Because. Nope.)


Cotton On V-neck Tee
Unbranded Leather Jacket
Pull & Bear Ankle Boots



{ Find Pieter here! }
---
A repost from a year ago, before the blog went glitchy and everything went wonky.
Read: I accidentally clicked the wrong button and deleted all the pictures.

Sunday 26 July 2015

baca buku • Bumi (Tere Liye, 2014)



(Minor Spoiler Alert!)

Beberapa hari yang lalu, setelah sekian lama ngga baca novel karena terlalu terpaku mencari filem-filem referensi, mata gue menemukan sebuah buku lumayan tebal bersampul menarik. Sejak awal masuk toko buku, entah kenapa gue tertarik dengan dua buku bertajuk Bumi dan Bulan yang ditulis oleh pengarang yang sama, Tere Liye. Kebetulan bokap punya salah satu buku karya pengarang ini, dan katanya bukunya bagus. Dan siapa yang ngga tahu Hafalan Shalat Delisa, minimal tahu lah filmnya (yang dulu sukses bikin gue nangis-nangis sendirian bersama televisi dan tumpukan tisu), yang juga dikarang oleh orang yang sama. Setelah baca sinopsisnya, gue semakin tertarik. Buku fantasi, gais! Gue suka banget genre itu. Tapi karena takut menyesal, gue belilah buku pertamanya dulu, Bumi. (Terus gue menyesal cuma beli yang pertama ketika gue sampai pada lembaran terakhir novel tepat waktu tengah malam, karena greget gemes penasaran lanjutannya.)

Dan, wow, gue benar-benar-benar suka.

Meskipun awal ceritanya terlalu lama, mungkin karena dari sudut pandang orang pertama dan pendalaman latar belakang karakternya cukup lama, mulai dari Raib, si tokoh utamanya, dan keluarganya, kemudian sahabat sebangkunya Raib, Seli, dan sahabat-musuhnya Raib, Ali. Awalnya cukup ngejlimet, ditambah tokoh-tokoh lain yang membuat semuanya semakin kompleks. Mungkin karena ini build-up untuk novel berseri, jadi memunculkan banyak pertanyaan yang seiring waktu dan buku akan terjawab? Gue pribadi sih suka, karena bikin penasaran, bikin ngga bisa lepas. Sampai gue makan sambil baca buku (yang jarang terjadi, karena makanan adalah cinta pertama dan terakhir gue), dan sampai kesal sendiri sama naluri alam gue untuk buang air kecil karena ingin menamatkan buku itu dalam sekali duduk.

Tapi ya agak kaget sih pas pertama baca bab-bab awal kayak novel TeenLit, haha. Ada kejadian agak buruk menimpa keluarga, terus ngga sengaja ada masalah sama kakak senior, masalah jerawat, masalah benci-bencian sama anak cowok di sekolah, agak redundant gitu. Terus ada detail-detail kecil yang kelewat, kayak mamang bakso ketukar dengan mamang batagor, lamanya pernikahan orang tua Raib beda, hal-hal kecil yang sebenarnya ga begitu penting. (Tapi jadi sadar karena belajar continuity di film hft). Anyway, bagian serunya baru mulai kira-kira hampir seperempat dari novelnya. Tapi ya, semakin ke belakang, terbayar kok dengan keseruan perjalanannya.

Gue suka gimana Tere Liye mendeskripsikan ceritanya, lumayan mengalir, jadi meskipun berbelit di awal, tetap enak buat dibaca. Ikut tegang pas kucingnya Raib diancam, ikut dag-dig-dug pas Tamus, si antagonis, berantem sama Miss Selena, guru matematikanya Raib. Rasanya kayak ikut ada di tempat itu dan melihat mereka berantem. Sampe-sampe gue sempat ikut simpati sama Tamus ketika dia cerita tentang masa lalunya. Tapi bagian paling asyiknya pas mereka di dunia pararel sih, deskripsi tempatnya enak banget bikin beneran kebayang dunianya kayak gimana. Kompleks, tapi dengan deskripsinya itu gue bisa menempatkan karakter-karakter buku ini di dunia yang terasa nyata meskipun cuma karang-karangan.

Masalah karakter, karakterisasinya belum terlalu kelihatan, tapi deskripsinya bisa bikin lumayan jatuh cinta sih. Meskipun bikin lambat, gue bisa mengapresiasi karakter Mama-Papanya Raib yang dinamika interaksinya menggemaskan, yang kemudian mirip pasangan yang ada di dunia pararel. Gue bisa suka tiga remaja kelas 10-9, Raib-Seli-Ali, mengikuti roller-coaster emosi dalam perjalanan mereka. Gue bisa suka manusia-manusia dunia pararel yang ketiganya temui dalam perjalanan mereka. Karakter-karakternya sungguh lovable.

Gue pribadi suka karakter Ali, si jenius dengan kepekaan sosial minim, haha. Mungkin karena gue paling bisa relate sama karakter jenius tapi dungu ini. Sama-sama berantakan, kepo berlebihan, dan jarang peduli sekitar, serta kurang ajar, aha. Tapi yang agak ganggu, mungkin karena ini dari sudut pandang Raib, kalimat 'jenius' dan 'rambut berantakan' dan 'biang kerok' terus-terusan dipakai untuk mendeskripsikan Ali. Tapi, ya, manusia banget ngga sih, mengidentifikasi seseorang dengan suatu sifat yang menonjol? Jadi, oke lah. Oiya, gue juga suka perumpamaan-perumpamaan Ali untuk menjelaskan teori-teorinya, seperi Teori Lapangan Olahraga dan Teori Ikan Buntal.

Alur cerita lumayan standar, polanya The Hero's Journey, seperti yang sering kita temui dalam bacaan atau tontonan petualangan (contohnya Star Wars, Harry Potter, Lord of the Rings, dkk). Sempat terbersit kemiripan dengan heksalogi(?) (pokoknya 6 buku, apalah namanya) The Secrets of the Immortal Nicholas Flamel-nya Michael Scott. Yeah, impresi pertama gue sih serial Bumi dan kawan-kawan kayak heksalogi(?) itu versi Indonesia, dalam arti yang positif. Sama-sama menciptakan dunia fantasi yang keren, sama-sama captivating, sama-sama bikin jatuh cinta. Bedanya, The Alchemyst, buku pertama heksalogi(?) Nicholas Flamel ngga pake ba-bi-bu panjang langsung jder! bertualang. (Catatan kecil: Serial Nicholas Flamel ini salah satu novel fantasi favorit gue.)

Oiya, gue sempat baca beberapa review orang-orang yang bilang kejadian-kejadian di novel ini serba kebetulan dan memberikan kemudahan, tapi menurut gue pribadi sih itu terjadi di semua cerita petualangan? Ya, cuma pendapat gue aja, haha.

Verdict
Overall, gue sangat merekomendasikan buku ini. Jarang-jarang, kan, ada novel fantasi petualangan dari pengarang Indonesia? Seru kok, gue rasa cocok untuk generasi penyuka Harry Potter, atau mungkin, penyuka heksalogi(?) Nicholas Flamel. Buku keduanya, Bulan, lebih seru dari Bumi. Mungkin karena petualangan yang diceritakan di buku Bumi lebih domestik? Gue sangat menunggu novel ini naik ke layar lebar, kayak kebanyakan novel-novel Indonesia sekarang ini. Tapi gue rasa sulit dengan kemampuan perfilman Indonesia sekarang, hahaha.

(◕‿◕✿)

End note: Ngomong-ngomong, gue pikir Tere Liye itu perempuan. Ternyata laki-laki. Untung insting saya bilang untuk pakai m8/mate pas dengan semangat bikin status di media sosial, hampir saya bilang mbak. Ah sudahlah. Ngomong-ngomong lagi, setelah galau seharian kepikiran dan penasaran, gue akhirnya beli Bulan. Sungguhhh ngga kecewa, saya kelewat bahagia. Buku kedua ini lebih feels lagi dari yang pertama. Sedih harus tunggu 2016 untuk lanjutannya, Matahari.

Friday 24 July 2015

fotonya • the sea's bride



He kisses her between her toes,
waves himself gently around her,
caresses playfully in between her hair, 
and that's how the Princess fell in love with the Sea.

`Someday, I'll be a seafarer,`
she whispers solemnly, in between promise and a prayer.



Photographer — Fransisca Theodora
Model — Michelle Hendellyn
Concept — Fransisca Theodora, Mediva Erviani, Amanda
Make up — Astrid Wulandari
Wardrobe — Michelle Hendellyn, Fransisca Theodora
(Made for Photography 1 Final Examination, Universitas Multimedia Nusantara, 2014)


Unbranded dress, Michelle's
DIY veil




A repost from a year ago, before the blog went glitchy and everything went wonky.
Read: I accidentally clicked the wrong button and deleted all the pictures.

Tuesday 21 July 2015

curhatnya • transatlanticism



The rhythm of my footsteps crossing flood lands
to your door have been silenced forever more.
The distance is quite simply much too far for me to row,
it seems farther than ever before.

Oh no.

I need you so much closer.

——Death Cab For Cutie——


(Teruntuk kakanda.)

Friday 10 July 2015

dora the explorer • i felt young, never change my crooked heart.


There is something fascinating about getting lost in an uncharted area around your hometown. Almost as thrilling as traveling somewhere new, or going to the uni for the first time. It's adventure! We don't know what will happen, even though it's proli only a kilometer or so from your house. My hometown has a lot of small roads that leads to weird places. The small town itself is about 30 minutes to an hour from the city by car depends on what route you took. There's this one route that I considered 'scenic' because you'll encounter lakes and bamboo forest (sort of) and stuffs.

Anyway, last Wednesday is a combination of getting lost and walking down the memory lane at the same time. On April 2015, PT. KAI (the train manager company thing in Indonesia, lol) reopened an old route that's supposed to be operated in the 90s but stopped because of the monetary crisis in 1998. This railway is literally next door to the school I used to go to as a child, so I'm quite familiar with it. We even followed the railway to an abandoned train station once when I was in the fifth grade. Anyway, because the trains got popular (so popular that it is packed and scary most of time), the route is now on again, but only two stations are reactivated. The one on the very end of the line, called Nambo (NMO), and the one I visited in fifth grade, called Cibinong (CBN). There are two other train stations in this route but one has gone terribly ruined, and I didn't see the other one in our trip.

Yes, we (as in, Yunita, Gung, and I; always the trio) took the train to Nambo because we are curious about it.

But first, let's talk about the train station.

(Cibinong Train Station.)

Somehow, it looks smaller than I remember. Almost downright tiny; with no proper platform and seats. The building is quite pretty, though; unlike the modern silver-colored train stations nowadays. Some people said that this building resembles a villa; well, I can see why. To go here, you can take any public transportation that goes to or through Cibinong Bus Station. There's a small road across the bus station, next to Indomaret. The train station is not too far, proli 5 minutes of walking? It's on the right side of the road and if you do not know where it is, you'll proli miss it (just me and my bad sense of direction, most likely). There's an Alfamart next to it, as a pointer.

The platform is bizarre. The yellow line area is so wide, probably because it's made around the 90s and the train is not as slim as it is now? You can stand there and proli still be so far away from the train, because the rail is also a little bit far, so the gap between the platform and the train is larger. It's really funny-looking for me.

Anyway, the route to Nambo is proli also one of those route that I'll call scenic. It is really really pretty, because there's a lot to see, from mini-forest, to huge river, to the highway, to a prison, and a cement industry, lots of industrial building that looks like it's from zombie apocalypse movies, and mountains. If you ever took a train to Bandung from Jakarta, this is like that in ten minutes trip, probably.


In the end, it's nothing really extravagant; of course it's not the same as traveling abroad. But I'm very very happy and impressed with it. There's a lot of beautiful place that you can see everyday, it's proli only around 15 minutes from your home, if you have the will to explore it.

End note: Like every time Berliners hang out, we ended up with a 1.5 liter of soda and various snacks in front of the computer or the telly. It's almost like a tradition, and it's heartwarming that we still do that after all these years. Last Wednesday, we ended up playing the Sims 3; Yunita and I recreated Gung and this one girl that used to adore and like and love Gung so much (sadly it is not reciprocated) and try to make them be a couple in the Sims. I was like, "YASSS" the whole time and we laugh until I cry. 'Twas a good day.



Photos by me, taken with Jess' Minox Leica camera.
{ Find Jess here! }
Title from Wild Heart by Bleachers.

Sunday 28 June 2015

dora the explorer • living life just like i should.


Someone left me in charge of the camera and these are the results. Ha.

Spent a day in Grand Indonesia just going around and watching some short films in Galeri Indonesia Kaya with KINOMOLOGY. Anyway, please be friends! From left to right: Alver, Xena, Jess, and yours truly. Pardon my ugly half-face, lol. I've been going around using a hella small 5mpx camera that I borrowed from Jess. It is really fun to use! It's so mobile, instant, and the outcome is quite random so I always look forward to it.



Photos by me, taken with Jess's Minox Leica camera.
{ Find Jess here! }
Title from I'm Good by The Mowgli's.

Tuesday 9 June 2015

tulisannya • too young to know about forever.


I am under the illusion that we will be like this forever.

Only too jaded that we ran away to the dark side of the moon;
only not here in our sanctuary of beds and blankets and pillows;
only more in love than yesterday.

But forever is only a fabricated castle in the air.

You unceremoniously ran my heart over;
and now it's a roadkill.

(  Our forever is over.  )

Monday 23 February 2015

tulisannya • 409.

I love you, you know? But I'm not in love with you. The statement sounds so cheesy and sometimes I hate myself for it; hate myself for feeling it. Next thing I know I'll probably spew something like it's not you it's me.

I love you like I love thunderstorm, because there's so much more to it, and being in love is uncomplicated, unlike how I love thunderstorm, or how I love you. Because it's not everyday there's a thunderstorm, like it's not everyday that I'll meet someone like you.

Sometimes, I think I can launch into an endless hours of speech on why I love thunderstorm, if I'm ever outspoken enough to do it. I'm not, obviously, often opted to whisper one or two sentences instead, because my ABCs always play Judas on me. You said that I'm the strong silent type, and maybe it's one of the reason why I love you. You understand me even with all the words that left unsaid.

The reason why I love thunderstorm is not the thunderstorm itself; or at least, not only the thunderstorm itself.

I love the sound of the rain that comes with it, the storm, even though I sometimes flinch at the sound of thunder, curling on in myself when I see a particularly big lightning that gives the anticipation of a loud booming that come seconds to its appearance. I love the window I sit next to and the blanket that wraps around me and the cup of steaming cuppa, two sugar and a dash of cream, because that's what I do when thunderstorm comes, and only when thunderstorm comes. It is precious; like you're precious.

I love how bold it is, the thunderstorm, loud and confident and eye-catching. Like you, on the first day of sophomore year when I noticed you laughing boisterously down the hallway by my best friend's locker. You, and your honey-colored Bambi eyes, and your raven hair with fringe that swoop just above your thick eyelashes.

I love how the sky clears up after a thunderstorm, azure and afresh, like it's been born again. And they always have the best twilight after a thunderstorm, the most breathtaking 6.13PM kind of twilight that's the combination of lilac, amber, and Tyrian purple. It is the prettiest; like you're the prettiest.

You are a thunderstorm in many sense. And I love you, but I'm not in love with you.

Because being in love would be simpler than how I feel for you.

Thursday 12 February 2015

uni-verse • universitas multimedia nusantara, dkv, dan sebagainya

This is a long overdue talk, it is. I'm starting my fourth semester in a mo and I've never ever talk about my uni life in details before? Not that it's anything special, really, I'm just an extraordinarily ordinary (kudos to my good mate Nev, haha! I'm like, so very ordinary) uni student, after all. But this past one and a half year has been real great and well, let's do this university rants, and better yet, let's do this in Bahasa Indonesia.

Jadi...


Jadi tahun 2013 pas gue lulus SMA dan teman-teman sekolah bertanya, "Dhik lanjutin kuliah dimana?" semua orang bingung pas gue jawab, "UMN." dan respon paling umum dari mereka adalah, "Hah, apaan tuh Dhik?" jadi ya ada baiknya gue jelaskan dulu tentang kampus di tepi ibu kota ini.


UMN = Universitas Multimedia Nusantara
(Iya, bukan Universitas M*r*n*th* ataupun M*nn*s*t* ok? Tolong ya, tolong.)

UMN ini universitas punya Kompas Gramedia gitu, posisinya di Gading Serpong, Tangerang. Gedungnya banyak kaca-kacanya gitu, warnanya biru, di belakang gedung biru ini adalah bangunan yang bentuknya kayak telur abu-abu gitu, jelek sih bentuknya, tapi baru-baru ini menang award gedung hemat energi. Gedung UMN ini terkenal kok, sering masuk TV soalnya jadi lokasi syuting gitu, bahkan sempat Mendadak Bandara dan Mendadak Ganti Nama juga, haha.

Ga ada yang terlalu spesial sih dari gedungnya; isinya cantik, rapi, bersih. Fasilitasnya oke, ada lab komputer Mac yang biasa dipake kelas anak-anak DKV. Baru-baru ini UMN juga bikin lab sound design dan ruang green screen, terus ada studio lukis, batik, sama sculpting gitu. Untuk yang DKV sih fasilitasnya udah oke banget menurut gue berhubung kampus ini umurnya masih muda juga, angkatan gue (2013) baru angkatan ke tujuh, dan pihak kampusnya juga terus mengembangkan fasilitas-fasilitas yang ada untuk mengakomodasi kebutuhan Fakultas Seni & Desain.

(Ini foto akhir tahun 2013 - awal 2014 gitu sepertinya, gue lupa ahaha.)

Oiya, masalah gedung, so far UMN punya 3 gedung, gedung A yang nyambung sama gedung B adalah si gedung kaca-kaca biru, dan gedung C si telur abu-abu jelek. Paling nelangsa sih kalau lagi hujan deras harus bawa karya dari atau ke gedung C, karena dia terpisah dari gedung A dan B, dan banyak bagian yang terbuka gitu, ya siap-siap aja sih kalau hujan deras gitu biasanya derai rintik hujan akan sawer ke mana-mana. Oh, terus di parkiran suka menggenang air, terus kalo salah nginjek ada batu-batu yang jeblos gitu terus basah. Berhati-hatilah dalam perjalanan anda, young Padawans.

Dan adalah penguasa seluruh gedung ini namanya Pak Darman, kalau mau pakai ruangan-ruangan disini harus dapat ijin dari dia dulu. Kalau dicari susah banget ketemunya, beneran deh. Cobain aja.

Desain Komunikasi Visual
(Buat yang masih bingung ngisi lembar jawaban ujian, DKV ini prodi, fakultasnya Seni & Desain.)

Yah semua orang tahu lah ini apa. Lagi ngehits gitu kan ya?

Di UMN ada 3 jurusan di bawah prodi DKV ini: Digital Cinematography (\m/), Animation, dan Graphic Design, terus ada satu lagi jurusan yang belum pernah tembus jumlah peminatnya, Interactive Media Design. Sejauh ini yang peminatnya membludak masih desain grafis, dengan sinema dan animasi kira-kira seri lah di urutan kedua. Karena gue sendiri ambil jurusan sinema, gue gak terlalu tahu banyak tentang jurusan lain kecuali dari misuh-misuhannya temen-temen gue (yang kebanyakan sih anak animasi) dan cerita-cerita kesedihan anak DG.

Tapi sebelum ngomongin jurusan, ada baiknya kita ngomongin Foundation Year dulu.

Freshmen, tahun pertama, young Padawans cimit-cimit yang lucu banget, harus melewati satu tahun di kelas-kelas dasar dulu sebelum mengambil jurusan pilihan mereka di tahun kedua. Sekarang sih gue kayak, "Ah tenang. Semua itu mudah. Semua itu sudah berlalu." karena gue udah lulus kelas-kelas itu, tapi ya kayaknya dulu gue cukup nelangsa juga. Banyak tugasnya iya, inspirasi kering iya, kantong kering juga iya. Ini daftar mata kuliah anak-anak foundation year:
Nama-namanya cukup intimidating, sih. Tapi kalau udah dijalanin sih ga semenyeramkan itu, cuma namanya aja yang pakai bahasa Inggris jadi kayaknya berat banget. Kebanyakan kelasnya praktek dan berkarya, sih. Computer Graphic Introduction belajar dasar-dasar program desain, yaitu serial keluarga Adobe. Nantinya dasar-dasar ini dibahas lebih dalam untuk aplikasi lebih lanjutnya di kelas Digital Publishing I. Drawing Principles belajar menggambar yang dasar-dasar dan benda mati(?) gitu, kelas lanjutannya adalah Anatomical Drawing yang nantinya gambar manusia. Art & Design Principles belajar banyak teori tentang desain gitu, kalau udah khatam nanti entah kenapa bakal jadi lebih peka sama desain-desain sekitar. Shape & Form Analysis adalah kelas nirmana 2D dan 3D.

Sisanya gue rasa udah self-explanatory, kebayang lah gitu namanya gak aneh.

(Sisa-sisa perjuangan. --- Tugas kelas Color Theory. --- Quickie make up effect pas kelas Traditional Sculpting.)

Kelas yang banyak menghabiskan uang adalah CGI dan Digital Publishing untuk mencetak, Traditional Painting untuk segala keperluannya dari cat, kanvas, bahan-bahan lucu untuk kolase dan sebagainya, SFA untuk membangun nirmananya, Sculpting untuk beli bahan kerangka dan clay, kalau kamu mampu beli juga mungkin bakal keluar uang untuk beli pen tablet untuk Digital Painting dan kamera SLR untuk Photography. Just FYI, pen tablet adalah aset yang sangat berguna untuk kehidupan DKV kalian, karena kepake untuk semester-semester selanjutnya, apalagi kalau animasi.

(C704 - Studio Traditional Painting.)

 (Tugas Fontography? Kalau gak salah. --- Kerangka sculpting haha!)

Kalau ga mau beli, kampus juga meminjamkan sih untuk pen tablet tapi cuma untuk dipakai di kampus di kelas, dan ga boleh pinjem nginep kayaknya? Kamera sih kalau ga mau beli pinjem teman saja, kalau temannya ikhlas. Pinjam kamera di kampus lumayan rebutan juga soalnya.

Untuk dosennya kebanyakan sih baiiik, meskipun ada juga yang gak baik? Selama gue kuliah sih alhamdulillah gak pernah dapat dosen yang gak baik, semuanya friendly, helpful banget bagi gue yang lemot dan letoy ini, banyak yang bisa diajak diskusi dan asistensi karya, bahkan kadang bisa gosip bersama juga, haha. Kalian bisa menemukan dosen-dosen kece itu di kantor fakultas DKV di lantai 5 gedung A, dari lift belok kanan nanti ada tulisan gede bling-bling gitu tulisannya Fakultas Seni & Desain.

(Tempat wajib foto semua anak FSD, haha. Oh, terus tetangga FSD adalah Fakultas Ekonomi!)

Biasanya kalau ngomongin dosen ada tiga pertanyaan; 1) Baik gak dosennya? 2) Ngasih nilainya gimana pelit ga? 3) Ngasih tugasnya banyak ga?

Kalau masalah tugas semuanya ngasih tugasnya banyak! (Ahaha, gak juga sih ada juga yang lebih woles. Tapi biasanya kalau tugas udah ada ketentuannya gitu minggu sekian belajar apa gitu). Kalau masalah baik dan penilaian sih tergantung, kelakuan lu di kelas kayak gimana, skill teman-teman sekelas kayak gimana, standar si dosen sendiri bagaimana, dan temperamen si dosen sendiri kayak gimana. Jadi ya, lakukan saja yang terbaik dan buat karya yang terbaik.

Di tahun pertama, mahasiswa gak ngatur jadwal sendiri, jadi udah dipaket gitu, kelasnya juga selama satu tahun bakal sama terus, diatur dari urutan NIM yang akan di dapat saat daftar ulang, sesuai dengan waktu kalian daftar. Karena dipaketin, ya untung-sial aja sih jadwalnya, kalau enak alhamdulillah, kalau ga enak ya jalanin aja.

Mulai tahun kedua baru nyusun jadwal sendiri, dan ini kadang udah kayak perang yang penuh perjuangan untuk merebutkan kelas yang jamnya enak. Tapi ga semengerikan yang dipikirin kok, ada dosen-dosen yang membantu proses ini juga.

Kehidupan Sekitar Kampus
(Daerah Gading Serpong, dan sekitarnya.)

Karena gue tidak dari sekitar sana, jadi di Gading Serpong sih gue ngekos. Deket UMN ada cluster-cluster pemukiman milik beberapa pengembang gitu sih. Yang paling dekat dari UMN adalah Newton-Dalton-Pascal, bisa dicapai dengan jalan kaki paling lama kalau lu lemes banget jalannya paling juga 10 menit. Tapi, dalam cluster ini sebenarnya dilarang ada kos-kosan, jadi kebanyakan kos-kosan dibuat di deretan ruko di depan cluster ini.

Ya, awalnya sih kelihatannya seram. Tapi enggak juga sih, satpam ada 24/7 menjaga daerah ruko ini, jadi menurut gue sendiri sih tempatnya aman gitu. Lagian juga isinya kebanyakan mahasiswa, jadi banyak teman juga yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Terus khususnya di ruko Newton banyak yang jualan makanan juga, jadi yang gak bisa masak ga usah khawatir mati, turun dari kosan banyak yang jualan, indomaret juga amat dekat dari jangkauan.

Baru-baru ini juga ada mal baru di deket daerah ini (persis sebelah UMN! haha) namanya Summarecon Digital Center. Ada food court, supermarket, dan toko elektronik yang ngebantu kehidupan mahasiswa banget. Ada tempat nongkrong juga, Scientia Square Park kalau ga salah namanya, disitu ada skatepark dan lagi dibangun hal-hal lainnya juga. Bayar sih masuknya tapi gue gak tahu berapa. Kalau ga mau ngekos juga ada apartemen gitu tapi mungkin itu harus ditanyakan ke pihak yang lebih mengerti karena gue gak ngerti, hahaha.

Selain tempat bernama penemu-penemu ini, ada daerah-daerah lain juga yang menjadi kos-kosan, lebih jauh sih lokasinya, Medang, Sektor 6-7 (kalau sektor lainnya gue kurang paham haha!), Illago, Catalina, Kelapa Dua? Tapi karena gue sendiri ngekosnya di gugusan bernama penemu-penemu ini, gue kurang mengerti daerah lainnya. Lalu ada Dormitory UMN juga, posisinya gak terlalu jauh dari UMN, di daerah Pondok Hijau Golf (PHG) tapi kalau jalan kaki sih jauh juga…

Untuk akses transportasi umum di daerah sini sih agak menyedihkan sebenarnya, ada angkot sih tapi seperti jarang muncul gitu? Di atas jam 8 malam biasanya sudah tidak ada angkot. Untuk dalam daerah Gading Serpong sih ada shuttle, keliling ke cluster-cluster pada jam-jam tertentu (surprisingly tepat waktu juga jadwalnya) terus dari SDC ada shuttle ke Summarecon Mal Serpong dan beberapa titik di Jakarta juga. Kalau ojek sih ada banyak, dari depan kampus UMN biasanya bertebaran, di dekat kosan dan depan dormitory juga ada. Kalau engga punya kendaraan pribadi tenang saja, bisa diatur kok, hahaha.

Untuk harga kosan sendiri kalau di gugusan nama penemu sih 1-2 juta/bulan sepertinya harganya? Semakin dekat ke UMN semakin mahal harganya, seperti di Newton Timur misalnya, hehe. Untuk harga pastinya bisa ditanya ke tempatnya sendiri, biasanya yang ada kamar kosong di depan rukonya ada spanduk yang ngasih tau fasilitas dan kontak yang bisa dihubungi gitu. Karena sekarang udah Penerimaan Mahasiswa Baru lagi (cepat sekali!!) biasanya ada yang kosong gitu?

Gading Serpong sendiri di kelilingi daerah Karawaci, Bumi Serpong Damai, dan Alam Sutera. Kalau bosan dengan SMS, ya ada mal-mal lainnya di daerah itu. Konsultasi saja dengan peta!

Tempat-Tempat Yang Harus Kalian Tahu Sebagai Anak DKV
(Tempat-tempat yang mempermudah kehidupan kita.)

Untuk beli bahan-bahan per-DKV-an dengan harga di bawah harga mal, ada 2 tempat yang biasanya didatangi oleh anak-anak DKV. Staples dan Prima.

Staples lokasinya tidak jauh dari Summarecon Mal Serpong, di ruko di seberangnya agak kesana sedikit(?) di dekat toko roti Holland Bakery. Tokonya sendiri warnanya oranye gitu jadi gak terlalu susah kok nyarinya. Disini bahan-bahan yang dijual terbilang lengkap, dan harganya tidak semahal toko buku di mall gitu. Kanvas, clay, cat, kuas, dan lain-lainnya bisa kalian dapatkan disini.

Kalau Prima lokasinya di Ruko Newton Barat, harganya sih biasanya lebih murah sedikit dari Staples, tapi nggak selengkap Staples nampaknya. Prima ini udah hapal jadwal UMN kayaknya, jadi jualannya pun mengikuti jadwal kebutuhannya anak-anak UMN. Di Prima juga bisa nyetak, scan, dan fotokopi.

Untuk mencetak, tempat yang biasa didatangi anak UMN sih Unimedia, Jakarta Copy Center, Pixelindie, Pigma, dan Printpress.

Jakarta Copy Center dan Printpress buka 24 jam, jadi kalau lagi waktunya nyetak tugas atau ujian take home terus kalian prokras, biasanya subuh-subuh banyak teman-teman seperjuangan disana. JCC bisa ditemukan di Kelapa Dua, dan Printpress di Jalan Raya Serpong. Unimedia dan Pigma letaknya di Ruko Newton Timur, tetanggaan dan bersaing gitu. Pixelindie ada di Pasar Modern Paramount, dan punya koleksi kertas paling banyak, dan disana bisa sewa alat-alat sinematografi juga.

Gue sendiri biasanya preferensi ke Unimedia, karena dari foundation year sering nyetak dan fotokopi disana, haha. Meskipun toko ini kadang ga jelas buka dan tutupnya jam berapa, tapi oke tempatnya.

. . . 

Oke ini jadi gak jelas dan panjang banget post-nya. Mungkin harus gue potong disini dan dilanjutkan kapan-kapan, kalau misalnya postingan ini berguna untuk yang baca, haha. Semoga berguna sih ya tapi gue sendiri yang nulis aja pusing sendiri bacanya. Kalau ada yang mau tanya sih silahkan tanya, akan gue coba jawab sebaik-baiknya? (Meskipun sampai sekarang gue gak terlalu tahu banyak juga, haha.)

Selamat berjuang,
salam #DKVsampaimati! #DKVkeras

Wednesday 11 February 2015

curhatnya • little things

"It's weird how nothing change when I'm here, you know? Like everything is on standstill for so long, but when I left, everything is changing rapidly, and I'm still me, and I can't follow."

"It's not like that, silly. Everything is changing slowly everyday, day by day. You're just not here at the time to witness it, so when you're finally back, you can only marvel at how those little things morph into something you don't recognize anymore."

***


Visiting good ol' high school with my best mates, meeting some favo teaches and hanging out in one of my favo classroom.  It feels daunting to roam these halls again like we were sixteen. Nostalgic too. We even got locked in the second floor by school's security like we often did when we were still enrolling. It's heartwarming to see the grumpy old man, with him still remembering my crimes from high school and all. Lots of shites change while I was away and I'm happy to have this one unchanged.

By the way, it's kinda shocking to see that the building underwent this new face phase and has new horrendous colors. It's fugly, ghastly brown-blue-green combination, like, you must be fucking colorblind to choose the color. But it's proli just me and my sensitive art student heart talking. It's still fugly tho, with it being an old building that only looks good in broken white.

New semester starts in a few days and I'm kinda ready to get busy again, I guess? At least I'll go out and do something, yeah? But I'm so not ready to leave home and my cozy bedroom and Mum's cooking. *sigh*

Friday 9 January 2015

curhatnya • no exit.


Inside these four walls are years old apathy,
and I'm numb, stunned, unfeeling, stupefied.